pangandaran berkah berzakat
ZAKAT PROFESI TERMASUK WAJIB ZAKAT DI ERA MODERN
08/05/2025 | HumasZAKAT PROFESI TERMASUK WAJIB ZAKAT DI ERA MODERN
Dalam kitab fiqih 4 madzhab zakat profesi tidak ada pembahasan khusus bahkan tidak disebutkan sama sekali, sehingga zakat profesi menurut ulama-ulama terdahulu tidak termasuk pada zakat yang wajib. Seiring berkembangnya zaman dan perkembangan manusia dalam hal ekonomi khususnya perdagangan dan perusahaan yang berdampak terhadap terbukanya berbagai macam lapangan pekerjaan, berkembang pula profesi-profesi yang turut berkecimpung didalam kegiatan ekonomi tersebut. Bahkan dampak dari perkembangan ekonomi khususnya dibidang perindustrian mengakibatkan banyak lahan-lahan pertanian dan peternakan yang beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik dan kantor-kantor perusahaan yang menjamur. Hal ini mengakibatkan para pelaku ekonomi harus ikut beralih profesi mengikuti perkembangan zaman. Banyak dari para petani yang beralih menjadi karyawan, para peternak yang beralih menjadi guru, dokter atau profesi lainnya. Apabila dihubungkan dengan fiqih zakat maka kondisi tersebut membuat muzakki-muzakki dibidang pertanian dan peternakan secara tidak langsung berkurang atau bahkan bagi daerah tertentu yang sudah menjadi kota besar kemungkinan profesi petani dan peternak sudah tidak ada. Disisi lain perkembangan ekonomi tidak sejalan dengan jumlah kemiskinan dan ketimpangan sosial yang justru semakin meningkat. Sementara para muzakki di bidang pertanian dan peternakan semakin berkurang dikarenakan beralih profesi. Hal ini menyebabkan kepedulian sosial kepada orang miskin yang bersumber dari zakat berkurang dikarenakan banyak orang beranggapan bahwa profesi yang baru tidak termasuk kepada wajib zakat.
Berdasarkan kondisi perekonomian diatas , maka para ulama kontemporer membahas tentang zakat profesi bahkan memasukannya kepada zakat yang wajib dikeluarkan. Ulama kontemporer adalah ulama yang hidup dan aktif di era modern, yaitu dari abad ke-20 hingga abad ke-21 yang fokus pada isu-isu aktual dan permasalahan yang dihadapi umat Islam di dunia global, menggunakan metode keilmuan modern untuk mengkaji masalah-masalah kekinian. Diantara ulama kontemporer yang memasukan zakat profesi sebagai zakat yang wajib dikeluarkan adalah Dr Yusuf Qardaqwi dalam kitab beliau Fiqh Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab zakat hasil pekerjaan dan profesi, Syekh Salman al-Oadah, Muhammad Taqi Usmani, Tariq Ramadan dan Abdullah Saeed, Dr Abdul Wahhab Khalaf dan syekh Abu Zahrah, Dr. Muhammad Al-Ghazali, dan organisasi Muhammadiyyah didalam Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kemudian ada Komisi Fatwa MUI yang menyatakan: “Komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya, seperti tunjangan yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lainnya yang bersifat tetap” (Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-6 tahun 2018 tentang Obyek Zakat Penghasilan).
Argumen utama dalam adanya ide mengenai zakat profesi adalah untuk memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk memenuhi kewajiban yang ditentukan dari pendapatan dari profesi mereka. Hal ini berdampak luas pada pemberdayaan sosial, dengan adanya profesi yang beragam dan pendapatan yang cenderung tinggi dapat memberikan kontribusi lebih pada pendistribusian zakat yang lebih luas. Selain itu, para muzakki dari sektor pertanian dan peternakan sudah mengalami penurunan akibat beralih profesi ke profesi lain, sehingga apabila tetap fokus pada profesi bidang pertanian dan peternakan maka zakat akan sedikit demi sedikit mengalami penurunan sementara kemiskinan dan masalah sosial terus bertambah.
Dengan ide demikian, zakat profesi digunakan secara formal di Indonesia oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Amil Zakat (Bazis) di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. BAZNAS didirikan pada tahun 2001, namun ide mengenai adanya zakat profesi telah digaungkan sejak tahun 2000. Sehingga dengan adanya semangat mengenai pengumpulan zakat yang berlandaskan spiritual namun bermuatan sosial, pemerintah Indonesia pada tahun 2003 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 tentang Zakat. Zakat sangat berpotensi dalam memberikan kontribusi sosial di Indonesia, sebab Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Islam. Kendati demikian, kemiskinan di Indonesia merupakan hal yang menjadi masalah besar, dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 kemiskinan di Indoensia mencapai angka 9,36 % yang artinya 25,90 juta orang Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan perkapita sebesar Rp. 550,458,-/kapita/bulan. Dalam penelitian Leon Walras, dengan angka yang demikian terbilang besar dan pendapatan yang cukup mengenaskan, zakat profesi menjadi salah-satu bagian filantropi yang dianggap mampu memberikan penekanan pada angka kemiskinan.
Pada masa Rasulullah sebenarnya memang profesi juga telah ada, namun perhitungannya bukan pada eksistensi profesi tertentu, melainkan dari akumulasi yang didapatkan dari profesi. Saat ini, akumulasi kekayaan dari satu bentuk profesi saja bisa menghasilkan kekayaan yang cukup banyak, ada beberapa profesi yang dihitung perjam. Pada era agraris, aset kekayaan seseorang diukur dari luasnya ladang pertanian atau banyaknya ternak yang dimiliki, namun saat ini aset kekayaan tidak diukur dari hal demikian, melainkan profesi yang digeluti. Indonesia saat ini memang sedang berada dalam era peralihan dari agraris ke industri. Dalam hal ekonomi, masyarakat perkotaan yang tidak memiliki ladang dan ternak yang banyak, bisa memiliki penghasilan yang lebih besar ketimbang petani dan peternak tradisional. Pun demikian, saat ini banyak sekali petani dan peternak yang mendapatkan untung yang sangat kecil akibat dari persaingan pasar dalam hal produksi pertanian dan peternakan. Maka, dari fenomena tersebut dapat dibaca bahwa membebankan zakat hanya kepada petani dan peternak pada satu aspek tidak relevan, karena justru memberatkan bagi petani dan peternak tradisional, padahal pendapatan dari profesi tertentu justru menghasilkan akumulasi kekayaan yang dapat dikatakan berlebih.
Dalam fenomena tersebut, zakat profesi dibentuk dalam asas mu’amalah yang dibentuk oleh sarjana Islam kontemporer menggunakan teks-teks Alquran dan Hadis, pun berpegang pada prinsip zakat yang lebih kontekstual. Sarjana Islam yang mengangkat zakat profesi sebagai upaya menjawab tantangan ekonomi modern ini memakai landasan dalam Alquran, diantaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 267 “Wahai orang-orang beriman! Belanjakanlah (pada jalan Allah) sebagian dari usaha kamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu…”. Dalam surah Al-Baqarah 267 di atas oleh para ulama kontemporer Islam menyebut makna dari ‘maa kasabtum” (sebagian dari usaha kamu) bermakna profesi yang beragam, bukan hanya perdagangan. Lebih jauh, ayat di atas menjelaskan mengenai keadilan sosial yang tidak mau memberatkan petani dan peternak dalam himpitan ekonomi dan kewajiban zakat. Selain itu, lafaz ‘anfiqu’ (belanjakanlah) memiliki muatan dari kewajiban (bentuknya adalah fi’il amar).
Selain dari Alquran, dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari dalam ‘Sahih al-Bukhari’ “…faya’malu biyadayhi fayanfa’u nafsahu wa yatadhoddaqu…” (Sahih Bukhari: 5563) yang artinya adalah bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya sendiri, lalu bersedekahlah (Al-Bukhari, 1422: 155). Dalam pembacaan hadis menurut pemahaman Yusuf Qardhawi bahwa setiap pekerjaan yang mendapatkan penghasilan yang bermanfaat bagi setiap muslim serta cukup penghasilan yang ia dapatkan untuk menafkahi keluarganya dan telah terpenuhi nishabnya maka diperintahkan untuk berzakat.
Problem umum mengenai pengambilan hukum zakat profesi ini bertumpu pada bentuk perhitungan zakat, kapan zakat dari profesi tertentu harus dibayarkan dan kapan pula pendistribusian zakat profesi ini dilakukan? Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa No. 7 tahun 2003 memberikan penekanan dalam waktu (nishab) pengumpulan zakat profesl. MUI menegaskan dalam fatwa di atas bahwa zakat wajib dibayarkan oleh profesi tertentu ketika sudah mencapai nishab yang telah ditetapkan dalam Islam. Namun jika belum mencapai nishab, maka zakat yang harus dibayarkan ditentukan dalam satu tahun. Fatwa ini memperhitungkan dua hal, besaran nishab atau waktu satu tahun untuk membayar zakat.
Fatwa MUI memang memiliki pandangan berbeda jika ditilik dari pengambilan hukum zakat pada empat mazhab yang mensyaratkan pembayaran zakat dalam satu tahun. Namun demikian, pandangan sarjana Islam yang mewajibkan adanya haul (satu tahun) hanya diperuntukkan bagi zakat lain seperti zakat pertanian, peternakan, perdagangan dan rikaz. Beberapa profesi tidak hanya mendapatkan pendapatan pertahun atau persemester, tapi profesi umumnya saat ini mendapatkan penghasilan perbulan bahkan perminggu.
Fatwa MUI yang secara teoritis melihat fenomena adanya perbedaan skala waktu pendapatan. Sedangkan dalam hal besaran persentase pengeluaran zakat profesi yang mendapatkan upah dalam skala sebulan sekali maka zakatnya 2,5% dari gaji pokok dan nishabnya adalah 653 kilogram beras atau nilai seukuran. Sedangkan profesi yang mendapatkan upah/keuntungan tidak menentu seperti pengacara, desainer, seniman, dokter dan lain sebagainya maka zakatnya tetap 2,5% dan nishabnya 85 gr emas atau nilai yang dianggap seukuran.
Pada prinsipnya, pendapatan yang diterima oleh profesional itu wajib zakat saat memenuhi ketentuannya. Cara menunaikan zakat profesi tersebut itu dengan salah satu di antara dua pilihan berikut. Pertama, ditunaikan setiap tahun. Maksudnya ditunaikan setiap tahun saat total penghasilannya dalam satu tahun mencapai minimal senilai 85 gram emas dan dikeluarkan 2,5 persen.
Pandangan bahwa zakat profesi itu ditunaikan setiap tahun sebagaimana pendapat Lembaga Zakat Internasional di Kuwait, Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003, dan PMA Nomor 31 Tahun 2019. Sebagaimana fatwa MUI: “Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Kadar zakat penghasilan adalah 2,5 persen” (Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan).
Dan sebagaimana Peraturan Menteri Agama: “Nisab zakat pendapatan senilai 85 (delapan puluh lima) gram emas. Dan kadar zakat pendapatan dan jasa senilai 2,5 persen” (PMA Nomor 31 Tahun 2019).
Jika merujuk pada SK Baznas yang menjelaskan bahwa nisab zakat pendapatan/penghasilan pada tahun 2025 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp 85.685.927,- (delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh lima ribu Sembilan ratus dua puluh tujuh rupiah) per tahun. Maka bisa dibuat contoh ilustrasi berikut: total penghasilan si A dalam satu tahun Rp 86.000.000, maka zakatnya Rp 86.000.000 x 2,5 persen = Rp 2.150.000 di akhir tahun.
Kedua ditunaikan setiap bulan. Maksudnya, ditunaikan setiap bulan saat total pendapatannya dalam satu tahun mencapai minimal senilai Rp 85.685.927,- dibagi 12 bulan jadi Rp 7.140.494 penghasilan per bulannya kemudian dikalikan 2,5 persennya, jadi sebesar Rp. 178.512,- per bulan zakat profesi atau zakat pengasilan yang dikeluarkan per bulan.
Secara umum, pandangan tentang kebolehan zakat profesi ditunaikan bulanan tersebut itu sebagaimana pendapat Syekh Prof Dr Abdu Sattar Abu Ghuddah (alm), Syekh Prof Dr Ali Qurrah Dhagi, Putusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tahun 2018, dan SK Baznas Nomor 13 Tahun 2025.
Jika merujuk kepada pendapat fatwa MUI tersebut, walaupun ditunaikan bulanan, praktiknya tetap merujuk pada qiyas terhadap zakat yang ditunaikan tahunan. Jadi, sebenarnya zakatnya ditunaikan tahunan, tetapi dapat ditunaikan bulanan dengan status titipan pembayaran.
Sebagaimana putusan ijtima ulama Komisi Fatwa MUI: “Setiap Muslim yang memiliki penghasilan yang mencapai nisab di setiap bulannya maka dia boleh membayar zakat meskipun belum mencapai satu tahun. Setiap Muslim yang memiliki penghasilan dalam satu tahunnya mencapai nisab boleh dikeluarkan zakat penghasilannya setiap bulan sebagai titipan pembayaran zakat” (Putusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tahun 2018).
Begitu pula menurut putusan Baznas, yaitu zakatnya merujuk kepada qiyas terhadap zakat yang ditunaikan tahunan, tetapi dapat ditunaikan bulanan, seperti menunaikan zakat sebelum waktunya/menyegerakan menunaikan zakat. Sebagaimana putusan Baznas: “Nisab zakat pendapatan/penghasilan pada tahun 2025 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp 85.685.927,- (delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh lima ribu Sembilan ratus dua puluh tujuh rupiah) per tahun atau Rp 7.140.494,- (tujuh juta seratus empat puluh ribu empat ratus sembilan puluh empat rupiah) per bulan” (SK Baznas Nomor 13 Tahun 2025).
Di antara contoh ilustrasi: total pendapatan si B dalam satu tahun Rp 86.000.000, maka zakatnya (Rp 86.000.000/12) x 2,5 persen = Rp 179.167,- setiap bulan. Wallahua’lam.
MARI!!!!!
TUNAIKAN ZAKAT, INFAQ DAN SEDEKAH TERBAIK ANDA MELALUI:
BAZNAS KABUPATEN PANGANDARAN
1. BJB 0074986961100 a.n baznas Pangandaran
2. BJBS 5290102675262 a.n baznas Pangandaran
3. BRI 054201001681300
ATAU
Bayar zakat, infaq dan sedekah dengan sekali klik saja melalui:
https://kabpangandaran.baznas.go.id/bayarzakat
